Namun, menurut Feillard, pemerintah Prancis lebih prihatin dari segi keamanan. Dia mencontohkan ketika sejumlah pelaku ledakan bom di London tahun 2005 dilaporkan memakai burqa (cadar).
“Dari sudut pandang masyarakat Prancis sendiri, saya kira itu lebih banyak dari segi hak perempuan untuk tidak memakai jilbab,” kata Feillard menambahkan.
Dia mengingatkan bahwa sentimen masyarakat Prancis, khusus kaum wanita, terhadap perjuangan gender memang sangat kuat mengingat bahwa banyak hak-hak dasar wanita baru bisa diperoleh dalam waktu yang boleh disebut “belum lama”.
Pada tahun 2004, Prancis mengeluarkan peraturan yang melarang pemakaian simbol-simbol agama di sekolah dasar dan sekeloah menengah negeri.
Di Belanda, imbauan pelarangan cadar terdengar semakin keras akhir-akhir ini. Sementara di Spanyol, langkah keras kelihatannya masih belum terlihat.
Di Majelis Nasional Prancis, majelis rendah, tidak banyak yang meneriakkan soal kebebasan sipil yang akan cedera oleh larangan cadar. Juga tidak terdengar kekhawatiran larangan tersebut akan menyulut sentimen anti-Islam.
Pada Maret 2010, badan administrasi tertinggi Prancis, Dewan Negara, memperingatkan bahwa UU anti-cadar bisa dinyatakan bertentangan dengan konsititusi. Para pengacara senior mengatakan pula, UU itu sangat mungkin gugur di Mahkamah Eropa bila ada pihak yang menggugatnya. Sebab, di tingkat Eropa, kebebasan berkekspresi dan kebebasan beragama tidak dapat diganggu gugat.
Berdasarkan RUU cadar ini, pakaian yang menutup wajah tidak dibolehkan dipakai di tempat-tempat umum di Prancis. Yang melanggar larangan ini dikenai denda 150 euro (lebih Rp 2 juta).
Sedangkan siapa saja yang ketahuan memaksakan pemakaian cadar kepada wanita, akan dikenai hukuman penjara satu tahun dan denda 30,000 euro (lebih Rp 340 juta). Bahkan, denda akan dilipatduakan jika orang yang dipaksa memakai cadar adalah anak-anak di bawah umur.
Sementara itu, seorang pengusaha yang ikut mencalonkan diri dalam pemilihan presiden Prancis tahun 2007, Rachid Nekkaz, mengumpulkan dana untuk membayar denda bagi siapa saja yang tertangkap memakai cadar.
Walaupun dia sendiri menentang burqa, Nekkaz menegaskan larangan itu tidak demokratis.
Kepada polisi, Ruby mengaku, sebelum menyerang Muslimah itu, dia membentaknya terlebih dahulu. Shaika Al-Suwaidi (26), muslimah itu sedang berada di toko perabot rumah tangga di Paris. Kepada Muslimah itu, Ruby meminta agar cadar itu dilepas karena terlihat 'ofensif'. ''Bagi saya, mengenakan cadar adalah tindakan agresi, saya merasa diserang sebagai seorang wanita,'' kilah Ruby.
Al-Suwaidi menolak permintaan untuk melepas cadarnya. Bersama teman dan dua anak kecil, dia melanjutkan belanjanya. Namun Ruby mengejarnya dan kemudian merenggut serta merobek cadarnya. Tak hanya itu, mantan guru bahasa Inggris ini juga mencakar dan menampar Al-Suwaidi. Menurut Al-Suwaidi, Ruby juga menggigit tangan kanannya. ''Sekarang saya bisa melihat wajahmu,'' ungkap Al-Suwaidi menirukan ucapan penyerangnya itu.
Saat diwawancarai Le Parisien sebelum sidang, Ruby mengatakan, ''Saya tidak dapat terima bahwa seseorang harus memakai cadar di negeri yang menganut hak asasi manusia ini.''
''Saya pernah mengajar di Maroko dan Arab Saudi. Saya telah melihat bagaimana wanita-wanita di sana berjalan tiga langkah di belakang suami mereka,'' tambah Ruby.
Pengacara Al-Suwaidi mengatakan, kliennya mengalami guncangan psikologis usai insiden tersebut sehingga harus istirahat dari tempat kerjanya selama 2 hari. ''Ruby adalah orang yang memiliki sikap provokatif. Penyerangan ini merupakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama,'' kecamnya.
Menurut pengacara itu, Al-Suwaidi tidak hadir di pengadilan karena telah meninggalkan Prancis dan tak pernah berniat untuk kembali lagi. Kemudian, jaksa menuntut hukuman percobaan dua bulan kepada Ruby karena telah melakukan penyerangan dan denda 750 euro.
Prancis, negara dengan ibukota Paris, yang terkenal dengan sebutan "kota mode dunia", ternyata melarang penggunaan hijab, dan cadar bagi muslimah yang tinggal disana. Mengapa?
_____________________
Sejak Lama, pemerintah Perancis mengatakan bahwa cadar tidak bisa diterima karena alasan sosial dan keamanan. Dari sisi sosial, pemerintah berpendapat pemakaian cadar membuat kesan bahwa warga yang memakainya tidak menghormati nilai-nilai sekuler Prancis.
Ditambahkan oleh Dr Feilllard, masyarakat luas Prancis mempersoalkan burqa dari segi gender.
Pada awal Mei 2010, parlemen mengesahkan resolusi yang tidak mengikat, yang menyebutkan bahwa cadar merupakan bentuk pelecehan nilai-nilai kehormatan dan kesetaraan yang dianut negara tersebut. Larangan pemakaian cadar sekarang ini sudah lebih dulu bertiup di berbagai negara Eropa, termasuk Belgia, Belanda dan Spanyol.
Ada sebuah cerita :
Seorang pensiunan guru di Prancis menyerang wanita Muslim asal Uni Emirat Arab yang mengenakan cadar. Pensiunan yang bernama Jeanne Ruby itu merenggut dan kemudian merobek-robek cadar tersebut. Kasus itu muncul sepekan setelah UU yang melarang pemakaian cadar di tempat umum disahkan oleh Dewan Konstitusi Prancis. Namun larangan pemakaian cadar ini baru berlaku awal tahun depan. Kasus ini pun kini dibawa ke pengadilan.
0 komentar:
Posting Komentar